Senin, Juli 08, 2013

WISDOM part 2

Poin ke 2 ini adalah suatu poin yang cukup familiar dan banyak menjadi referensi orang-orang jika membahas tentang hikmat, yaitu PENGALAMAN (Experience). Namun sebelumnya, sebelum saya masuk kepada pembahasan notes saya ini, ijinkan saya membuka notes ini dengan suatu ayat firman Tuhan yang menjadi dasar pemikiran kita dalam pembahasan topik ini.

Kalau Soba Muda memiliki Alkitab, coba buka bersama saya dalam Amsal 19:3. Dikatakan bahwa“Kebodohan menyesatkan jalan orang, lalu gusarlah hatinya terhadap TUHAN”. Mungkin ayat ini tidak terlalu familiar buat sebagian besar dari kita, bahkan ada yang belum pernah mendengar ayat ini. Sekilas tidak ada yang salah dengan ayat ini, namun kedengarannya saja yang agak membingungkan, tentang apa maksud sebenarnya dari kalimat ini, namun kalau kita melihat dalam terjemahan bahasa lainnya, kita akan menemukan sesuatu yang menarik dengan ayat ini. 

Kita mulai dengan dengan dari terjemahan New Living Translation dikatakan, “People ruin their lives by their own foolishness and then are angry at the Lord” (Manusia merusak/menghancurkan hidup mereka sendiri dan kemudian marah kepada Tuhan).

Terjemahan Mesagge Bible berkata “People ruin their lives by their own stupidity, so why does God always get blamed?” (Manusia merusak/menghancurkan hidup mereka sendiri, lalu mengapa Tuhan yang selalu disalahkan?)

Terjemahan FAYH menuliskan, “Ada orang yang mungkin kehilangan kesempatan oleh karena kebodohannya sendiri, tetapi ia menyalahkan TUHAN untuk itu.”

Dan terjemahan terakhir yang saya ambil adalah terjemahan bahasa Indonesia sehari-hari (BIS) yang berkata“Manusia merugikan diri sendiri oleh kebodohannya, kemudian menyalahkan TUHAN atas hal itu”

Wow..What a verse! I believe that some of us never hear that verse and never expected there is such a great revelation written there. Ayat ini ditulis ribuan tahun yang lalu, namun ternyata masih sangat relevan dengan kehidupan kita saat ini, di jaman modern ini. Bukankah ini suatu kenyataan yang bisa dengan mudah kita temui disekitar kita? Ada orang-orang yang merusak hidupnya sendiri dan kemudian menyalahkan Tuhan, bahkan marah kepada Tuhan atas kerusakan yang terjadi di didalam hidupnya, bahkan kemudian ada orang-orang yang bukannya bertobat malah berbalik dan meninggalkan Dia.

Saya akan bantu Sobat Muda untuk melihat hal ini dengan lebih jelas sebelum saya akan menjelaskan apa korelasinya ayat ini dengan apa yang ingin saya share hari ini tentang hikmat.

Pernahkah Sobat Muda melihat atau mendengar ada orang-orang yang merokok sepanjang hidupnya, dari usia muda, hampir lebih dari 2 bungkus sehari, kemudian di masa tuanya mengalami kerusakan jantung, paru-paru, hati dan lainnya, kemudian berdoa memohon kesembuhan kepada Tuhan, mengharapkan mujizat terjadi, kemudian Tuhan tidak menyembuhkannya, dan bahkan bertambah parah? Kemudian apa yang terjadi? Dia menjadi sangat marah kepada Tuhan dan berkata Tuhan tidak menyayanginya, Tuhan jahat karena tidak menyembuhkannya. Setelah orang tersebut meninggal, keluarganya juga ikut menyalahkan Tuhan, marah terhadap Tuhan dan berkata “Engkau tidak adil, orang lain disembuhkan tetapi keluarga ku tidak” Pernah dengar?

Atau pernahkah melihat atau mendengar ada orang-orang yang sembarangan menggunakan uangnya, boros menggunakan uangnya, kemudian terlilit hutang kartu kredit, dikejar-kejar debt collector, kemudian berdoa bersungguh-sungguh agar Tuhan melakukan mujizat untuk melunasi semua hutangnya? Kemudian mujizat tidak kunjung datang, dia bangkrut dan kemudian marah kepada Tuhan dan berkata bahwa Tuhan jahat?

Saya bisa sebutkan banyak contoh lainnya yang tidak ada habisnya, namun intinya tetap sama. Bukankah tidak diperlukan pewahyuan yang luar biasa untuk tahu bahwa merokok akan menyebabkan kanker paru-paru, sakit
jantung dll?

Bukankah tidak diperlukan seorang nabi yang diurapi untuk kasih tahu kita bahwa kalau kita menggunakan uang yang dipercayakan dengan sembarangan, utang sana sini, boros, setiap kali lihat diskon langsung beli, tanpa memikirkan apakah kita membutuhkan barang tersebut akan membuat kita berakhir dengan dikejar-kejar hutang? 

We all know that, but when it happen to us, why we angry to God? Why we blame Him for what we do consciously. Apakah mereka tidak tahu bahwa merokok itu berbahaya? Saya percaya mereka tahu, namun apakah perintah Tuhan atau memang keinginan mereka sendiri untuk merokok? Sometimes we never learn tentang apa yang namanya take our own responsibility, karena beberapa dari kita menganggap enteng kasih karunia dan kemurahan Tuhan dan berpikir “nanti juga kalau berdoa, Tuhan akan berikan mujizat”

Kita mengenal apa yang namanya hukum tabur dan tuai, dan for sure apa yang kita tabur, akan kita tuai. Kita senang menabur yang jahat, yang merusak, namun ketika saatnya menuai, kita seenaknya minta Tuhan untuk hapuskan semua konsekuensi itu dan lepaskan kita dari semua masalah yang kita buat sendiri. How ridiculous is that? 

Nah, untuk menghindari kita tidak berbuat kebodohan yang merugikan diri kita sendiri dan akhirnya menyalahkan Tuhan, kita membutuhkan hikmat. Hikmat yang kita dapat peroleh dari yang namanya pengalaman (experiences). Oleh karena itu saya akan share beberapa prinsip tentang menemukan hikmat dari pengalaman ini yang akan membantu kita untuk dapat mengerti lebih lagi.

Prinsip pertama adalah Banyaknya Pengalaman Tidak Berbanding Lurus Dengan Banyaknya Hikmat Yang Kita Miliki.
My question is, apakah banyaknya pengalaman seseorang akan membuat seseorang lebih berhikmat daripada orang yang sedikit pengalamannya? Jika selama ini Sobat Muda berpikir bahwa banyaknya pengalaman seseorang akan membuat seseorang menjadi lebih berhikmat, maka hari ini saya akan mencoba membantu Sobat Muda untuk melihat kebenarannya. Nah, kalau memang banyaknya pengalaman seseorang tidak menentukan hikmat seseorang, lalu apanya dong? Bukankah poin ini membahas soal pengalaman? Well, this is the truth:

More experiences don’t mean more wisdom. But the valuable lessons that you can take from every experiences that make you have more wisdom. Banyaknya pengalaman seseorang tidak menjadikannya lebih berhikmat, namun pelajaran berharga yang dapat diambil dari setiap pengalaman tersebut yang menjadikannya lebih berhikmat.

So, banyaknya pengalaman tidaklah menjamin seseorang akan memiliki banyak hikmat, apabila ia tidak pernah mengambil pelajaran positif, pelajaran berharga dari setiap pengalaman. Sungguh lucu melihat ada banyak orang-orang yang tidak pernah belajar dari pengalaman yang ia alami. Ada orang-orang yang selalu jatuh pada hal yang sama dan tidak pernah belajar dari kejatuhannya yang sebelumnya dan anehnya kita menganggap itu sebagai sesuatu yang hebat dan kita mengira ia pasti sudah sangat berhikmat. Sangat berpengalaman, mungkin saja, namun berhikmat, belum tentu. 

Saya masih ingat beberapa tahun lalu, ketika saya masih kuliah ada salah seorang teman saya yang sudah putus-nyambung dalam berhubungan dengan cewek sebanyak 7 kali.  Begitu orang tahu ia sudah berkali-kali pacaran, maka banyak dari teman-teman saya waktu itu, yang kebetulan kebanyakan yang cowok, meminta advice tentang masalah percintaan kepada teman saya ini, dan pada saat itu, dia baru putus beberapa bulan yang lalu dari pacar yang ke 7.

Well, menurut saya sungguh memalukan ketika kita meminta advice tentang relationship dari seseorang yang 7 kali gagal dalam hubungan dan belum pernah berhasil mempertahankan hubungan dengan seorang wanita. Namun mereka berpikir bahwa dengan banyaknya pengalamannya berhubungan dengan banyak wanita, mereka akan mendapatkan advice yang berharga dan dapat menolong mereka dalam menjalin hubungan dengan pasangan mereka. Dan menurut saya, advice yang diberikan sungguh sangat nyeleneh. 

So, remember this, banyaknya pengalaman tidak membuat seseorang lebih berhikmat. Jika kita ingin melihat hikmat yang ada pada seseorang, lihat pelajaran berharga apa yang ia ambil dari pengalaman yang ia alami tersebut. Berbicara soal pengalaman berharga, saya berikan beberapa tips praktis kepada sobat muda untuk dapat melihat apakah seseorang tersebut berhikmat. 

1. Pelajaran yang ia pelajari haruslah sesuatu yang berharga dan positif, bukan yang negatif dan cenderung menghancurkan. Misalnya ketika seseorang mengalami patah hati, ketika ia berkata bahwa pelajaran yang ia ambil adalah ia tidak akan pernah percaya lagi dengan yang namanya cinta, atau tidak laghi percaya terhadap pria/wanita manapun, maka ini bukanlah ciri orang yang berhikmat, karena pelajaran yang ia ambil tidaklah positif.

2. Lihat apakah ia pernah mengalami hal yang sama dengan pengalaman sebelumnya dan jika pernah, apakah kejatuhannya pada masalah yang sama? Jika ia, maka dengan pasti bahwa ia tidak belajar dari pengalamannya, dan itu bukanlah hikmat

3. Apakah ia menggeneralisasi semua keadaan dengan pengalamannya tersebut? Misalnya karena ia disakiti oleh pria batak, maka ia berkata bahwa semua pria batak adalah playboy. Atau misalnya ia pernah bermasalah dengan 1 orang Kristen dan berkata bahwa semua orang Kristen munafik. Jelas ini bukanlah ciri orang yang berhikmat.

Saya tidak mengatakan pengalaman tidak penting, namun apapun pengalaman yang Sobat Muda alami dalam hidup ini, ambil pelajaran yang positif dan berharga dari pengalaman tersebut, belajar untuk menjadi lebih baik dari pengalaman tersebut. 

Prinsip Kedua adalah Waktu & Umur Tidak Otomatis Membuat Seseorang Menjadi Lebih Berhikmat.
Banyak orang yang memiliki pemikiran bahwa dengan bertambahnya umur seseorang, akan membuat orang tersebut menjadi lebih berhikmat dengan sendirinya. Well, sekali lagi saya katakan bahwa hikmat bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, bukan sesuatu yang otomatis namun harus dicari dan diusahakan. Sayangnya pemikiran ini membuat kita berpikir bahwa semua orang yang umurnya lebih tua daripada kita, pasti lebih berhikmat dan orang-orang yang lebih tua dari kita mengira bahwa dirinya lebih berhikmat hanya karena umurnya lebih tua.

Saya akan share contoh praktis yang dapat memberikan kita gambaran lebih jelas. Sepanjang pengalaman saya berhubungan dengan anak muda, saya menemukan ada banyak kasus di mana orang tua memaksakan impiannya dahulu yang tidak kesampaian kepada anaknya. Ada anak-anak yang dipaksakan orang tuanya menjadi dokter hanya karena dahulu orang tuanya karena berbagai kendala tidak dapat menjadi dokter, padahal belum tentu anaknya punya minat dan kemampuan di bidang tersebut. Sound familiar? Pertanyaannya apakah mereka adalah orang tua yang berhikmat?

Saya belum pernah menjadi orang tua, namun satu hal yang sangat jelas saya pelajari dari orang tua saya dan juga salah seorang penulis wanita yang sangat saya hormati adalah tugas orang tua bukan menentukan akan jadi apa anaknya kelak, namun menuntun, membantu, dan mengarahkan anaknya untuk menemukan apa yang Tuhan inginkan menjadi apa anak tersebut nantinya. Well, ada berapa banyak orang tua yang mengerti hikmat ini?

Contoh ini saya ambil bukan agar kita tidak menghormati orang tua kita yang mungkin belum menemukan hikmat ini. Kita tetap harus menghormati mereka, namun contoh ini menunjukkan bahwa lamanya seseorang hidup di dunia, bertambahnya umur tidak dengan otomatis membuat seseorang menjadi lebih berhikmat.

Oleh karena itu, selagi kita masih muda, kejarlah hikmat. Carilah hikmat sebanyak-banyaknya sehingga dengan semakin bertambahnya umur kita, maka kita juga akan semakin berhikmat.

Everything Happen for a Reason. We might not always find what the reason is, but we always can find lesson to learn.

Ada beberapa saran praktis yang dapat Sobat Muda praktekkan untuk dapat mengambil pelajaran berharga ketika sedang mengalami sesuatu peristiwa/pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.

Coba Sobat Muda tanyakan beberapa pertanyaan ini kepada diri sendiri:
1. Apa pelajaran positif yang bisa saya ambil dari peristiwa ini?
2. Apa yang bisa saya lakukan untuk mencegah hal ini terulang kembali di masa depan? (kalau ini peristiwa yang tidak menyenangkan) atau apa yang dapat saya lakukan agar hal ini dapat terulang kembali (kalau ini peristiwa yang menyenangkan, berharga dan bermanfaat)
3. Apa yang keliru atau tidak sesuai saya lakukan sehingga hal ini terjadi? (peristiwa tidak menyenangkan)

Prinsip Ketiga, Pengalaman Seseorang Bukanlah Sesuatu Yang Mutlak Bagi Kita.
Dahulu ketika saya masih SMP, saya diajarkan bahwa guru yang terbaik adalah pengalaman dan itu adalah pengalaman diri sendiri. Sampai suatu kali saya bertemu dengan seseorang yang berkata “Guru yang terbaik adalah pengalaman, pengalaman siapa? Pengalaman orang lain”

Memang pengalaman kita dapat mengajarkan banyak hal, namun pengalaman orang lain dapat mengajarkan kita lebih banyak lagi. Dengan belajar dari banyak pengalaman orang lain, membuat kita tidak harus jatuh dalam kesalahan yang sama dengan yang dilakukan orang lain. That’s why ada banyak buku di tulis mengenai pengalaman berbagai macam orang tentang bagaimana ia mencapai kesuksesan. Pelajaran yang didapat seseorang lewat pengalamannya selama bertahun-tahun dapat kita pelajari dan miliki hanya dalam beberapa jam saja dengan membaca buku yang ditulis orang tersebut. Sangat menghemat waktu.

Namun ketika kita belajar mencari hikmat dari pengalaman orang lain, ada satu hal yang harus kita ingat, bahwa masing-masing kita diciptakan unik dan memiliki jalannya tersendiri. Tuhan memiliki rencana yang spesifik terhadap hidup kita yang tidak sama dengan orang lain. Nah, sebelum saya menjelaskan lebih lanjut, saya ingin menceritakan sebuah kisah kepada Sobat Muda.

Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh beberapa orang professor. Dalam sebuah penelitian, 5 (lima) ekor monyet ditempatkan dalam suatu kandang yang dilengkapi dengan sebuah tangga yang menuju ke setandan pisang. Seekor monyet mencoba untuk menaiki tangga untuk mendapatkan pisang tersebut, tapi ada semprotan air yang disembunyikan di balik tangga bagian atas yang kemudian menyemprotkan air pada monyet tersebut sedemikian hingga monyet tersebut menghentikan usahanya mendapatkan pisang (turun tangga). Monyet lain juga mencoba, hal yang sama terjadi lagi dan akhirnya mereka menyerah.

Para peneliti mematikan semprotan kemudian memindahkan seekor monyet dan menggantikan dengan yang baru. Tahu ada pisang yang ranum dan enak tenan, monyet yang baru bergegas mengambil pisang tersebut. Tetapi monyet-monyet yang lain, karena pengalaman sebelumnya, berusaha mencegah dan menggagalkan usaha monyet yang baru tersebut.

Demikian seterusnya, hingga para peneliti mengganti semua monyet dengan monyet yang baru, tidak ada satupun monyet yang mendekati tangga tersebut, alih-alih menaikinya, walaupun semprotan airnya sudah dimatikan sejak penggantian monyet yang pertama. Mereka tahu itulah yang tidak boleh dilakukan (mendekati apalagi menaiki tangga menuju setandan pisang), dan akhirnya menjadi  sebuah norma, sebuah pengalaman dan bahkan kebiasaan (tanpa mereka tahu bahwa semprotan air sudah dimatikan).

Mungkin Sobat Muda tersenyum membaca cerita ini, namun tanpa bermaksud menganalogikan kita, manusia seperti monyet, ada pelajaran menarik yang dapat kita ambil dari kisah ini, bahwa pengalaman seseorang di masa lalu belum tentu cocok untuk diaplikasikan oleh kita secara harafiah di masa sekarang.

Saya berikan contoh sederhana. Ada seseorang yang sangat sukses dalam berbisnis restoran yang memulai usahanya di tahun 80-90an, dan sekarang sudah menjadi pengusaha yang sangat terkenal dan bisnis restorannya berkembang dengan pesat dengan cabang di mana-mana.

Suatu kali, ada seorang anak muda yang memiliki keinginan dan passion akan bisnis restoran. Maka ia bertanya kepada orang ini yang sekarang sudah tua. Orang ini menceritakan pengalamannya dalam membuka bisnis restoran dan ia berkata bahwa untuk membuka bisnis restoran butuh modal besar, makanya ia perlu bekerja selama 6 tahun menjadi karyawan untuk mengumpulkan modal, baru kemudian dapat membuka restoran.

Sang pemilik restoran ini pun menyuruh sang pemuda untuk mengurungkan niatnya berbisnis restoran sekarang dan menunda beberapa tahun lagi. Pemilik restoran ini mengatakan kalau mau sukses berbisnis restoran, kerja dulu beberapa tahun sebagai karyawan, kumpulin modal baru buka restoran.

Sekilas pelajaran yang diberikan oleh pemilik resto ini benar adanya, karena itu yang ia pelajari dari pengalamannya ketika pertama kali membuka restoran di tahun 80an. Namun apakah pelajaran yang sama juga mutlak harus kita jalankan di masa sekarang?

Tentu tidak. Jika memang permasalahannya adalah di modal, bukankah sekarang ini ada banyak perusahaan-perusahaan yang membuat lomba-lomba untuk membiayai bisnis UKM? Bukankah sekarang ini ada banyak investor-investor yang mau membiayai bisnis-bisnis yang memang menguntungkan? Dan bukankah hari-hari ini kita juga melihat sendiri bahwa ada banyak anak-anak muda yang sukses berbisnis tanpa modal besar di awalnya? Pengalamannya mungkin benar di jamannya, namun bisa berubah di zaman sekarang.

Bukan berarti karena Pertus jalan di atas air, maka kita semua wajib mengalami pengalaman yang sama, berjalan di atas air kan? Namun kita dapat menarik hal-hal yang dapat kita jadikan pedoman dari pengalaman Petrus tersebut. Ingat, pengalaman orang lain bukanlah firman Tuhan yang harus dijalankan dengan mutlak. 

Nah, sebagai yang lebih muda, kita tentu saja perlu mencari, mendengar dan menggali hikmat dari pengalaman orang yang lebih tua atau senior dari kita, namun kita tidak harus mengikuti secara harafiah dan menganggap bahwa advice tersebut adalah satu-satunya cara mutlak untuk mencapai kesuksesan ataupun sesuatu yang ingin kita capai.

Sama seperti monyet-monyet yang baru tersebut, yang mengikuti advice monyet-monyet lama yang mengalami semprotan air pada masa mereka, tanpa mengerti bahwa keadaan sudah berubah dan semportan sudah dimatikan. Bayangkan apa jadinya kalau monyet baru tersebut tetap naik ke atas, maka ia akan memperoleh pisang yang dia inginkan.

Saya tidak bermaksud mengecilkan pengalaman-pengalaman dan hikmat orang-orang yang sudah terlebih dahulu mengalami apa yang akan kita alami, but my point is, jadikan pengalaman mereka sebagai panduan, nasihat, dan acuan untuk kita lebih berhati-hati, agar kita punya landasan dan punya perencanaan untuk bergerak maju. Namun pengalaman mereka bukanlah sesuatu yang mutlak harus kita ikuti step by step secara harafiah.

Nah, berbicara soal ini, mau tidak mau saya menyinggung sedikit soal mentor ataupun kakak rohani. Seorang mentor ataupun kakak rohani yang baik, adalah seseorang yang tidak menjadikan pengalamannya sebagai satu-satunya cara mutlak yang harus diikuti oleh anak rohani ataupun seseorang yang dibinanya. Kecuali hal-hal tersebut sudah dengan sangat jelas tertulis di alkitab, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi, namun apabila masih berupa pengalaman pribadi, maka tidak boleh dipaksakan untuk orang lain ikuti.

Tugas seorang kakak rohani atau mentor adalah membimbing, mengarahkan dan membantu seseorang yang dibinanya menemukan rencana Tuhan yang spesifik dalam hidupnya. Pengalaman kakak rohani ataupun mentor hanya sebagai suplemen, sebagai tambahan, sebagai masukan dan bahan pemikiran untuk menemukan rencana Tuhan yang spesifik tersebut, namun bukan menjadi pedoman utama. 

Kebanyakan Mentor atau Kakak rohani melakukan kesalahan dengan memaksakan orang yg dibinanya untuk mengambil langkah yang sama dan harus mengalami hal yang sama dengan pengalamannya di masa lalu. 

Saya melihat suatu fenomena di beberapa gereja tentang anak muda. Yaitu golongan tua, karena pengalaman mereka di masa mereka, mereka akhirnya memandang bahwa anak muda tidak bisa diberikan tanggung jawab yang besar, anak muda jangan diberikan kesempatan sebelum usia 30, anak muda susah diatur dan lain sebagainya. Hal ini membuat anak muda dibatasi geraknya di dalam gereja. Para penatua tidak memberikan kesempatan bagi anak-anak muda untuk masuk lebih lagi dalam pelayanan dengan alasan umur belum cukup dewasa.

Namun saya juga menemukan ada beberapa gereja yang memberikan ruang gerak yang cukup besar kepada anak muda mereka, tanggung jawab yang besar dan kesempatan yang luas. Dan saya melihat bagaimana anak-anak muda ini sangat luar biasa kreatif, bertanggung jawab dan bahkan saya menemukan beberapa dari mereka dapat berkhotbah di ibadah umum lebih baik dibandingkan pendeta-pendeta senior yang pernah saya dengar.

Selidik punya selidik, ternyata gereja yang memberikan ruang gerak besar kepada anak mudanya, terlebih dahulu mereka mempersiapkan anak-anak muda mereka, melatih mereka, mementor mereka sampai akhirnya mereka siap di lepas untuk pelayanan dan diberikan tanggung jawab lebih.

Ternyata pengalaman para penatua tersebut di jaman dahulu tentang perilaku anak muda, belum tentu benar di masa sekarang. Tenyata anak muda asalkan diberikan teladan, pengarahan, penghajaran, pembimbingan yang benar, akan dapat dipercaya hal-hal yang sangat besar.

Saya berharap 3 prinsip sederhana ini dapat membantu kita memperoleh hikmat dengan benar dan dapat menunjukkan kepada dunia bahwa hikmat bukanlah milik orang-orang yang sudah tua saja, melainkan juga dimiliki anak-anak muda.

By
Morris"Strongeagle"
No 1 Young Vision Coach,trainer, Certified EQ Mentor, Motivator, Writer & LoveCoach
“See you at the finishline..!”
@motivission

Tidak ada komentar: